Kritik dan
Apresiasi Arsitektur
"Setiap
orang adalah arsitek"
(Tulisan ini pernah dimuat di Malut Post kolom Opini Rabu
27 Mei 2015)
Seiring waktu beranjak, seorang anak
mulai menyadari pentingnya kebutuhan ruang.
Ia perlahan mulai menata kamarnya, merancang dan mengatur perabot beserta isi
kamar, membayangkan aktivitas yang akan terjadi ke depan, kemudahan akses
barang hingga kemudahan pembersihan kamar agar mendukung setiap aktivitas dan
membuahkan kenyamanan dalam ruang privat tersebut sebagai ruang terdekat dalam
kesehariannya. Anak tersebut juga segera meminta kritik dan saran dari
teman-teman terdekat yang sering berkunjung ke kamarnya.
Apa yang dilakukan anak di atas
adalah refleksi kegiatan dalam proses perencanaan dan perancangan arsitektur, atau kurang lebih seperti itulah aktivitas dalam dunia
arsitektur. Setiap orang memiliki hasrat merancang kehidupannya, maka setiap
orang patut disebut sebagai arsitek.
T.A. Markus dalam bukunya Building Performance (Applied science
Publisher Ltd. 1972) bahkan mengatakan, jika yang dimaksudkan dengan arsitek adalah mereka yang menciptakan
dan merubah lingkungan, maka setiap orang adalah juga seorang arsitek. Dalam
pengertian ini berarti semua orang, tanpa kecuali, berhak untuk bicara soal
arsitektur. (Prof. Eko Budihardjo, Arsitektur & Kota di Indonesia, PT.
Alumni, 1997).
Saya sepakat
dengan pernyataan di atas. Dengan demikian, setiap orang bisa
mengkritik kehadiran sebuah karya arsitektur (bangunan) di sekitarnya. Karena
arsitektur tidak hanya pada visual yang indah tapi lebih dari pada itu.
Arsitektur bermuatan sosial-budaya, sekilas politis, mengandung sejarah dan
lain sebagainya. Kritik dan apresiasi arsitektur (disingkat : Kreasi) menjadi
indikator nyata kepedulian masyarakat pada lingkungannya. Kepedulian ini pada
akhirnya akan masuk pada ranah pembangunan makro, baik arsitektur kota, geliat
pembangunan jangka panjang wilayah provinsi hingga pembangunan nasional.
Prof. Eko juga menuturkan (buku yang
sama di atas), dalam cabang-cabang seni yang lain seperti seni drama, tari, lukis,
patung dan lain-lain, kritik dan apresiasi terhadap hasil karya si seniman
sudah merupakan kegiatan rutin alias sudah cukup membudaya. Akan tetapi tidak
demikian halnya dengan bidang arsitektur. Padahal arsitektur termasuk salah
satu cabang seni yang unik dan sangat memasyarakat karena tidak bisa dihindari
oleh siapapun. Bagi orang yang tidak suka seni drama atau tari, tidak ada
keharusan pergi ke teater. Yang benci lukisan atau patung tak bisa dipaksa
menontonnya ke sanggar seni. Yang alergi terhadap film tak usah datang ke
bioskop. Tetapi siapa yang dapat
menghindarkan diri untuk tidak melihat, merasakan, menikmati (atau sebaliknya),
dan menggunakan hasil karya arsitektur?
Berbicara
tentang arsitektur adalah berbicara tentang ruang. Pada
dasarnya setiap manusia membutuhkan ruang, paling minimal ruang gerak tubuh
seperti jangkauan kedua tangan dan kedua kaki dengan leluasa. Standar ruang
gerak mikro inilah yang kemudian dijabarkan dalam skala secara teknis.
Kebutuhan manusia akan ruang sangat mempengaruhi kegiatan keseharian, termasuk
pengaruh psikologi bahkan pada ruang yang lebih besar mempengaruhi penghuninya
secara behavioral-sosial. Dan ruang yang paling dekat dengan kita adalah rumah.
Bahkan negara memandang pentingnya rumah
untuk pembentukan watak dan kepribadian bangsa. Tempat tinggal/rumah adalah ruang sosial mikro yang mempunyai peranan
penting, dalam UU RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menimbang bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan
kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam
pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun
manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.. Dalam ruang
sosial mikro tersebutlah setiap individu tumbuh dan menjadi jembatan ke ruang
sosial yang lebih besar. Untuk mendukung secara penuh hal-hal di atas maka
ruang sosial mikro tersebut harus menjadi baytiy
jannatiy alias rumahku adalah surgaku. Dengan sederhana, kita bisa melihat
cerita anak di atas untuk menyimpulkan tentang pentingnya kebutuhan manusia
terhadap ruang yang melingkupinya, baik lingkungan alami maupun lingkungan buatan.
Arsitektur (bangunan) dan arsitektur
kota (kumpulan bangunan) adalah produk
suatu peradaban. Kita telah bisa menakar kemajuan suatu bangsa dari teknologi
yang diterapkan pada bangunan-bangunannya, atau tentang cita rasa dalam seni
yang diterapkan pada bangunan-bangunannya hingga simbol-simbol filosofis
kultural yang tetap menyajikan kenyamanan thermal penggunanya. Kita bisa lihat contoh yang paling dekat yaitu peninggalan benteng-benteng yang dibangun
beberapa abad silam, hal tersebut memberi gambaran betapa ramai dan pentingnya Kota Ternate saat itu hingga para penjajah dari
berbagai negara memandang perlu menancapkan kuku mereka sedalam-dalamnya.
Kreasi
telah dikumandangkan oleh mendiang Prof. Eko tiga dekade lalu, kami memandang
perlunya menyambung tongkat estafet semangat ini sebagai generasi muda. Membudayakan Kreasi
adalah mengontrol pembangunan disekitar kita dengan cara akademis dan santun
pada ruang-ruang opini media atau ruang-ruang diskusi
bersama. Hal tersebut telah banyak diterbitkan Malut Post bersama rubrik opini,
merangkum kritik dan apresiasi masyarakat tentang apa saja khususnya
pembangunan.
Berangkat dari
kesadaran ruang sosial mikro (tempat tinggal/rumah) hingga kesadaran ruang
sosial makro (kumpulan rumah dan lingkungannya/kota),
menjadikan kreasi
lebih kaya aspirasi, karena kota bukanlah milik walikota tapi milik masyarakat
yang hidup di dalamnya. Memang masalah sebuah kota sangat kompleks dan khas,
tapi minimal kreasi mampu memberikan informasi
pada sebuah program atau proyek perencanaan dan perancangan kota atau sebut
saja Perencanaan dari bawah ke atas, dan
perlahan menepis Perencanaan dari atas ke
bawah. Belum lagi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan
masyarakat yang semakin meningkat menambah besar tekanan pembangunan.
Satu
keuntungan ketertinggalan pembangunan Indonesia bagian timur adalah kita bisa
belajar pada kota-kota besar Indonesia
khususnya masalah akut perkotaan Ibu Kota Jakarta : sampah dan banjir. Berbagai
program percepatan pembangunan tak lantas membuat kita lupa pada efek negatif
pembangunan yang berdampak langsung pada masyarakat, khususnya konsep kota-kota megah negara maju yang belum tentu adaptif
pada kondisi geografis, iklim dan suhu di sini.
Kreasi
ini akan menjadi provokatif pada perencanaan
pembangunan dari atas ke bawah, tapi sebaliknya akan menjadi masukan yang impresif
pada perencanaan yang dimulai dari bawah
ke atas. Karena setiap orang adalah arsitek, maka memberikan kreasi (kritik dan apresiasi arsitektur) adalah hal yang wajar, untuk pembangunan yang objektif
merangkum seluruh kepentingan demi kesejahteraan bersama.
No comments:
Post a Comment