Sunday, October 1, 2017

"Setiap orang adalah arsitek"

Kritik dan Apresiasi Arsitektur
"Setiap orang adalah arsitek"
(Tulisan ini pernah dimuat di Malut Post kolom Opini Rabu 27 Mei 2015)

          Seiring waktu beranjak, seorang anak mulai menyadari pentingnya kebutuhan ruang. Ia perlahan mulai menata kamarnya, merancang dan mengatur perabot beserta isi kamar, membayangkan aktivitas yang akan terjadi ke depan, kemudahan akses barang hingga kemudahan pembersihan kamar agar mendukung setiap aktivitas dan membuahkan kenyamanan dalam ruang privat tersebut sebagai ruang terdekat dalam kesehariannya. Anak tersebut juga segera meminta kritik dan saran dari teman-teman terdekat yang sering berkunjung ke kamarnya.
          Apa yang dilakukan anak di atas adalah refleksi kegiatan dalam proses perencanaan dan perancangan arsitektur, atau kurang lebih seperti itulah aktivitas dalam dunia arsitektur. Setiap orang memiliki hasrat merancang kehidupannya, maka setiap orang patut disebut sebagai arsitek.
          T.A. Markus dalam bukunya Building Performance (Applied science Publisher Ltd. 1972) bahkan mengatakan, jika yang dimaksudkan dengan arsitek adalah mereka yang menciptakan dan merubah lingkungan, maka setiap orang adalah juga seorang arsitek. Dalam pengertian ini berarti semua orang, tanpa kecuali, berhak untuk bicara soal arsitektur. (Prof. Eko Budihardjo, Arsitektur & Kota di Indonesia, PT. Alumni, 1997).
          Saya sepakat dengan pernyataan di atas. Dengan demikian, setiap orang bisa mengkritik kehadiran sebuah karya arsitektur (bangunan) di sekitarnya. Karena arsitektur tidak hanya pada visual yang indah tapi lebih dari pada itu. Arsitektur bermuatan sosial-budaya, sekilas politis, mengandung sejarah dan lain sebagainya. Kritik dan apresiasi arsitektur (disingkat : Kreasi) menjadi indikator nyata kepedulian masyarakat pada lingkungannya. Kepedulian ini pada akhirnya akan masuk pada ranah pembangunan makro, baik arsitektur kota, geliat pembangunan jangka panjang wilayah provinsi hingga pembangunan nasional.
          Prof. Eko juga menuturkan (buku yang sama di atas), dalam cabang-cabang seni yang lain seperti seni drama, tari, lukis, patung dan lain-lain, kritik dan apresiasi terhadap hasil karya si seniman sudah merupakan kegiatan rutin alias sudah cukup membudaya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan bidang arsitektur. Padahal arsitektur termasuk salah satu cabang seni yang unik dan sangat memasyarakat karena tidak bisa dihindari oleh siapapun. Bagi orang yang tidak suka seni drama atau tari, tidak ada keharusan pergi ke teater. Yang benci lukisan atau patung tak bisa dipaksa menontonnya ke sanggar seni. Yang alergi terhadap film tak usah datang ke bioskop. Tetapi siapa yang dapat menghindarkan diri untuk tidak melihat, merasakan, menikmati (atau sebaliknya), dan menggunakan hasil karya arsitektur?
          Berbicara tentang arsitektur adalah berbicara tentang ruang. Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan ruang, paling minimal ruang gerak tubuh seperti jangkauan kedua tangan dan kedua kaki dengan leluasa. Standar ruang gerak mikro inilah yang kemudian dijabarkan dalam skala secara teknis. Kebutuhan manusia akan ruang sangat mempengaruhi kegiatan keseharian, termasuk pengaruh psikologi bahkan pada ruang yang lebih besar mempengaruhi penghuninya secara behavioral-sosial. Dan ruang yang paling dekat dengan kita adalah rumah.
          Bahkan negara memandang pentingnya rumah untuk pembentukan watak dan kepribadian bangsa. Tempat tinggal/rumah adalah ruang sosial mikro yang mempunyai peranan penting, dalam UU RI No. 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menimbang bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri dan produktif.. Dalam ruang sosial mikro tersebutlah setiap individu tumbuh dan menjadi jembatan ke ruang sosial yang lebih besar. Untuk mendukung secara penuh hal-hal di atas maka ruang sosial mikro tersebut harus menjadi baytiy jannatiy alias rumahku adalah surgaku. Dengan sederhana, kita bisa melihat cerita anak di atas untuk menyimpulkan tentang pentingnya kebutuhan manusia terhadap ruang yang melingkupinya, baik lingkungan alami maupun lingkungan buatan.
            Arsitektur (bangunan) dan arsitektur kota (kumpulan bangunan) adalah produk suatu peradaban. Kita telah bisa menakar kemajuan suatu bangsa dari teknologi yang diterapkan pada bangunan-bangunannya, atau tentang cita rasa dalam seni yang diterapkan pada bangunan-bangunannya hingga simbol-simbol filosofis kultural yang tetap menyajikan kenyamanan thermal penggunanya. Kita bisa lihat contoh yang paling dekat yaitu peninggalan benteng-benteng yang dibangun beberapa abad silam, hal tersebut memberi gambaran betapa ramai dan pentingnya Kota Ternate saat itu hingga para penjajah dari berbagai negara memandang perlu menancapkan kuku mereka sedalam-dalamnya.
          Kreasi telah dikumandangkan oleh mendiang Prof. Eko tiga dekade lalu, kami memandang perlunya menyambung tongkat estafet semangat ini sebagai generasi muda. Membudayakan Kreasi adalah mengontrol pembangunan disekitar kita dengan cara akademis dan santun pada ruang-ruang opini media atau ruang-ruang diskusi bersama. Hal tersebut telah banyak diterbitkan Malut Post bersama rubrik opini, merangkum kritik dan apresiasi masyarakat tentang apa saja khususnya pembangunan.
            Berangkat dari kesadaran ruang sosial mikro (tempat tinggal/rumah) hingga kesadaran ruang sosial makro (kumpulan rumah dan lingkungannya/kota), menjadikan kreasi lebih kaya aspirasi, karena kota bukanlah milik walikota tapi milik masyarakat yang hidup di dalamnya. Memang masalah sebuah kota sangat kompleks dan khas, tapi minimal kreasi mampu memberikan informasi pada sebuah program atau proyek perencanaan dan perancangan kota atau sebut saja Perencanaan dari bawah ke atas, dan perlahan menepis Perencanaan dari atas ke bawah. Belum lagi pesatnya perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat  menambah besar tekanan pembangunan.
Satu keuntungan ketertinggalan pembangunan Indonesia bagian timur adalah kita bisa belajar pada kota-kota besar Indonesia khususnya masalah akut perkotaan Ibu Kota Jakarta : sampah dan banjir. Berbagai program percepatan pembangunan tak lantas membuat kita lupa pada efek negatif pembangunan yang berdampak langsung pada masyarakat, khususnya konsep kota-kota megah negara maju yang belum tentu adaptif pada kondisi geografis, iklim dan suhu di sini.
          Kreasi ini akan menjadi provokatif pada perencanaan pembangunan dari atas ke bawah, tapi sebaliknya akan menjadi masukan yang impresif pada perencanaan yang dimulai dari bawah ke atas. Karena setiap orang adalah arsitek, maka memberikan kreasi (kritik dan apresiasi arsitektur) adalah hal yang wajar, untuk pembangunan yang objektif merangkum seluruh kepentingan demi kesejahteraan bersama.

No comments:

Post a Comment